Senin, 12 Maret 2012

Hospital Tour To Banyumas


LAPORAN PENDAHULUAN CA MAMAE / PAYUDARA


Pendahuluan
Ca mammae pada wanita menduduki tempat nomor dua setelah carcinoma serviks uteri. Kurva insiden usia bergerak tinggi sejak usia 30 tahun. Kanker jarang ditemukan pada usia di bawah 20 tahun. Angka tertinggi pada usia 45-66 tahun. Penyakit ini disebabkan karena terjadinya pembelahan sel-sel tubuh secara tidak teratur sehingga pertambahan sel tidak dapat dikendalikan dan akan tumbuh menjadi benjolan tumor (cancer). Apabila tumor ini tidak diambil dan dibuang, dikhawatirkan akan masuk dan menyebar ke dalam jaringan yang sehat. Ada kemungkinannya juga sel kanker tersebut melepaskan diri dan menyebar ke seluruh tubuh.

Etiologi
Tidak ada satupun sebab spesifik, sebaliknya terdapat serangkaian factor genetic, hormonal dan kemudian kejadian lingkiungan dapat menunjang terjadinya cancer payudara.

Faktor resiko
1.    Riwayat pribadi Ca payudara
2.    Menarche dini
3.    Nullipara/ usia lanjut pada kelahiran anak pertama
4.    menopause pada usia lanjut
5.    Riwayat penyakit payudara jinak
6.    Riwayat keluarga dengan ca mamae
7.    Kontrasepsi oral
8.    Terapai pergantian hormone
9.    Pemajanan radiasi
10.  Masukan alcohol
11.  Umur > 40 tahun
Patofisiologi
Tumor/neoplasma merupakan kelompok sel yang berubah dengan cirri-ciri: proliferasi sel yang berlebihan dan tidak berguna yang tidak mengikuti pengaruh struktur jaringan sekitarnya.
Neoplasma yang maligna terdiri dari sel-sel kanker yang menunjukkan proliferasi yang tidak terkendali yang mengganggu fungsi jaringan normal dengan menginfiltrasi dan memasukinya dengan cara menyebarkan anak sebar ke organ-organ yang jauh. Di dalam sel tersebut terjadi perubahan secara biokimia terutama dalam intinya. Hampir semua tumor ganas tumbuh dari suatu sel di mana telah terjadi transformasi maligna dan berubah menjadi sekelompok sel-sel ganas di antar sel-sel normal.
Proses jangka panjang terjadinya kanker ada 4 fase:
1.    Fase induksi: 15-30 tahun
Sampai saat i9ni belum dipastikan sebab terjadinya kanker, tapi factor lingkungan mungkin memegang peranan besar dalam terjadinya kanker pada manusia.
Kontak dengan karsinogen membutuhkan waktu bertahun-tahun samapi bisa merubah jaringan displasi menjadi tumor ganas. Hal ini tergantung dari sifat, jumlah, dan konsentrasi zat karsinogen tersebut, tempat yang dikenai karsinogen, lamanya terkena, adanya zat-zat karsinogen atau ko-karsinogen lain, kerentanan jaringan dan individu.
2.    fase in situ: 1-5 tahun
pada fase ini perubahan jaringan muncul menjadi suatu lesi pre-cancerous yang bisa ditemukan di serviks uteri, rongga mulut, paru-paru, saluran cerna, kandung kemih, kulit dan akhirnya ditemukan di payudara.
3.    fase invasi
Sel-sel menjadi ganas, berkembang biak dan menginfiltrasi meleui membrane sel ke jaringan sekitarnya ke pembuluh darah serta limfe.
Waktu antara fase ke 3 dan ke 4 berlangsung antara beberpa minggu sampai beberapa tahun.
4.    fase diseminasi: 1-5 tahun
Bila tumor makin membesar maka kemungkinan penyebaran ke tempat-tempat lain bertambah.

Tanda dan gejala
Penemuan tanda-tanda dan gejala sebagai indikasi kanker payudara masih sulit ditemukan secara dini. Kebanyakan dari kanker ditemukan jika dudah teraba, biasanya oleh wanita itu sendiri.
1.    Terdapat massa utuh (kenyal)
Biasanya pada kuadran atas dan bagian dalam, di bawah lengan, bentuknya tidak beraturan dan terfiksasi (tidak dapat digerakkan)
2.    Nyeri pada daerah massa
3.    Adanya lekukan ke dalam/dimping, tarikan dan retraksi pada area mammae.
Dimpling terjadi karena fiksasi tumor pada kulit atau akibat distorsi ligamentum cooper.
Cara pemeriksaan: kulit area mammae dipegang antara ibu jari dan jari telunjuk tangan pemeriksa l;alu didekatkan untuk menimbulkan dimpling.
4.    Edema dengan Peaut d’oramge skin (kulit di atas tumor berkeriput seperti kulit jeruk)
5.    Pengelupasan papilla mammae
6.    Adanya kerusakan dan retraksi pada area putting susu serta keluarnya cairan secara spontan kadang disertai darah.
7.    ditemukan lesi atau massa pada pemeriksaan mamografi.

PENENTUAN UKURAN TUMOR, PENYEBARAN KE KELENJAR LIMFE DAN TEMPAT LAIN PADA CARCINOMA MAMMAE
TUMOR SIZE (T)
TX
Tidak ada tumor
T0
Tidak dapat ditunjukkan adanya tumor primer
T1
Tumor dengan diameter 2 cm atau kurang
T1a diameter 0,5cm atau kurang, tanpa fiksasi terhadap fascia dan/muskulus pectoralis
T1b >0,5 cm tapi kurang dari 1 cm, dengan fiksasi terhadap fascia dan/muskulus pectoralis
T1c >1 cm tapi < 2 cm, dengan fiksasi terhadap fascia dan/muskulus pectoralis
T2
Tumor dengan diameter antar 2-5cm
T2a tanpa fiksasi terhadap fascia dan/muskulus pectoralis
T2b dengan fiksasi
T3
Tumor dengan diameter >5 cm
T3a tan pa fiksasi, T3b dengan fiksasi
T4
Tumor tanpa memandang ukurannya telah menunjukkan perluasan secar langsung ke dalam dinding thorak dan kulit
REGIONAL LIMFE NODES (N)
NX
Kelenjar ketiak tidak teraba
N0
Tidak ada metastase kelenjar ketiak homolateral
N1
Metastase ke kelenjar ketiak homolateral tapi masih bisa digerakkan
N2
Metastase ke kelenjar ketiak homolateral yang melekat terfiksasi satu sama lain atau terhadap jaringan sekitarnya
N3
Metastase ke kelenjar homolateral supraklavikuler atau intraklavikuler terhadap edema lengan
METASTASE JAUH (M)
M0
Tidak ada metastase jauh
M1
Metastase jauh termasuk perluasan ke dalam kulit di luar payudara

STADIUM KLINIS KANKER PAYUDARA
STADIUM
T
N
M
0
T1s
N0
M0
I
T1
N0
M0
IIA
T0
T1
T2
N1
N1
N0
M0
M0
M0
IIB
T2
T3
N1
N2
M0
M0
IIIA
T0
T1
T2
T3
N2
N2
N2
N1, N2
M0
M0
M0
M0
IIIB
T4
Semua T
Semua N
N3
M0
M0
IV
Semua T
Semua N
M1
Pemeriksaan penunjang
1.    Laboratorium meliputi:
  1. Morfologi sel darah
  2. Laju endap darah
  3. Tes faal hati
  4. Tes tumor marker (carsino Embrionyk Antigen/CEA) dalam serum atau plasma
  5. Pemeriksaan sitologik
Pemeriksaan ini memegang peranan penting pada penilaian cairan yang keluar sponyan dari putting payudar, cairan kista atau cairan yang keluar dari ekskoriasi
2.    Tes diagnosis lain
a. Non invasif
1). Mamografi
      Yaitu radiogram jaringan lunak sebagai pemeriksaan tambahan yang penting. Mamografi dapat mendeteksi massa yang terlalu kecil untuk dapat diraba. Dalam beberapa keadaan dapat memberikan dugaan ada tidaknya sifat keganasan dari massa yang teraba. Mamografi dapat digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada wanita-wanita yang asimptomatis dan memberikan keterangan untuk menuntun diagnosis suatu kelainan.
         2). Radiologi (foto roentgen thorak)
         3). USG
Teknik pemeriksaan ini banyak digunakan untuk membedakan antara massa yang solit dengan massa yang kistik. Disamping itu dapat menginterpretasikan hasil mammografi terhadap lokasi massa pada jaringan patudar yang tebal/padat.
         4). Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini menggunakan bahan kontras/radiopaque melaui intra vena, bahan ini akan diabsorbsi oleh massa kanker dari massa tumor. Kerugian pemeriksaan ini biayanya sangat mahal.
         5). Positive Emission Tomografi (PET)
Pemeriksaan ini untuk mendeteksi ca mamae terutama untuk mengetahui metastase ke sisi lain. Menggunakan bahan radioaktif mengandung molekul glukosa, pemeriksaan ini mahal dan jarang digunakan.
  b. Invasif
1). Biopsi
Pemeriksaan ini dengan mengangkat jaringan dari massa payudara untuk pemeriksaan histology untuk memastikan keganasannya. Ada 4 tipe biopsy, 2 tindakan menggunakan jarum dan 2 tindakan menggunakan insisi pemmbedahan.
a). Aspirasi biopsy
Dengan aspirasi jarum halus sifat massa dapat dibedakan antara kistik atau padat, kista akan mengempis jika semua cairan dibuang. Jika hasil mammogram normal dan tidak terjadi kekambuhan pembentukan massa srlama 2-3 minggu, maka tidak diperlukan tindakan lebih lanjut. Jika massa menetap/terbentuk kembali atau jika cairan spinal mengandung darah,maka ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsy pembedahan.
b). Tru-Cut atau Core biopsy
Biopsi dilakukan dengan menggunakan perlengkapan stereotactic biopsy mammografi dan computer untuk memndu jarum pada massa/lesi tersebut. Pemeriksaan ini lebih baik oleh ahli bedah ataupun pasien karena lebih cepat, tidak menimbulkan nyeri yang berlebihan dan biaya tidak mahal.
c). Insisi biopsy
Sebagian massa dibuang
d). Eksisi biopsy
Seluruh massa diangkat
Hasil biopsy dapat digunakan selama 36 jam untuk dilakukan pemeriksaan histologik secara frozen section.

Komplikasi
      Komplikasi utama dari cancer payudara adalah metastase jaringan sekitarnya dan juga melalui saluran limfe dan pembuluh darah ke organ-organ lain. Tempat yang sering untuk metastase jauh adalah paru-paru, pleura, tulang dan hati. Metastase ke tulang kemungkinan mengakibatkan fraktur patologis, nyeri kronik dan hipercalsemia. Metastase ke paru-paru akan mengalami gangguan ventilasi pada paru-paru dan metastase ke otak mengalami gangguan persepsi sensori.

Penatalaksanaan medis
      Penanganan secara medis dari pasien dengan kanker mamae ada dua macam yaitu kuratif (dengan pembedahan) dan paliatif (non pembedahan)
Tabel Penanganan Cancer Mammae
Penanganan
Keterangan
Pembedahan (kuratif)
Mastektomi parsial (eksisi tumor local dan penyinaran)








Mastektomi total dengan diseksi aksila rendah
Mastektomi radikal yang dimodifikasi

Mastektomi radikal



Mastektomi radikal yang diperluas

Mulai dari lumpektomi (pengangkatan jaringan yang luas dengan kulit yang terkena) sampai kuadranektomi (pengangkatan seperempat payudara), pengangkatan atau pengambilan contoh jaringan dari kelenjar limfe aksila untuk penentuan stadium; radiasi dosis tinggi mutlak perlu (5000-6000 rad)
Seluruh payudara, semua kelenjar limfe di lateral otot pektoralis minor
Seluruh payudara, semua atau sebagian jaringan aksila
Seluruh payudara, otot pektoralis mayor dan minor di bawahnya, seluruh isi aksila

Sama seperti masektomi radikal ditambah kelenjar limfe mamaria interna
Non Pembedahan (paliatif)
Penyinaran






Kemoterapi



Terapi hormaon dan endokrin


Pada payudara dan kelenjar limfe regional yang tidak dapat direseksi pada kanker lanjut, pada metastase tulang, metastase kelenjar limfe, aksila, kekambuhan tumor local atau regional setelah mastektomi

Adjuvan sistemik setelah mastektomi; paliatif pada penyakit yang lanjut

Kanker yang telah menyebar, memakai estrogen, androgen, progesterone, anti estrogen, ooforektomi, adrenalektomi, hipofisektomi
Pengobatan paliatf kanker payudara tidak dapat dijalankan menurut suatu skema yang kaku, selalu dipertimabngkan kasus demi kasus. Terapi kemoterap[I diberikan bila ada metastasis visceral terutama ke otak dan limphangitik dan jika terpai hormonal tidak dapat mengatasi atau penyakit tersebut telah berkembang sebelumnya, dan jika tumor tersebut ER negative.

Minggu, 29 Januari 2012

LAPORAN PENDAHULUAN PLATTING FEMUR


I.    KONSEP MEDIS

1.      Definisi:
Fraktur:
§  Hilangnya kesinambungan substansi tulang dengan atau tanpa pergeseran fragmen-fragmen fraktur.
§  Terputusnya hubungan/kontinuitas jaringan tulang.
Platting:
§  Tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mereposisi dan memfiksasi fragmen tulang yang mengalami fraktur dengan jalan pemasangan plat (fiksasi internal).

2.      Fraktur:

Etiologi Fraktur:
a.       Trauma            :          
·         Langsung (kecelakaan lalulintas)
·         Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang )
b.       Patologis       : Metastase dari tulang
c.        Degenerasi
d.       Spontan        : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.

Jenis Fraktur:

a.        Menurut jumlah garis fraktur :           
·         Simple fraktur (terdapat satu garis fraktur)
·         Multiple fraktur (terdapat lebih dari satu garis fraktur)
·         Comminutive fraktur (banyak garis fraktur/fragmen kecil yang lepas)
b.       Menurut luas garis fraktur :
·         Fraktur inkomplit (tulang tidak terpotong secara langsung)
·         Fraktur komplit (tulang terpotong secara total)
·         Hair line fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga tidak ada perubahan bentuk tulang)
c.        Menurut bentuk fragmen :
·         Fraktur transversal (bentuk fragmen melintang)
·         Fraktur obligue (bentuk fragmen miring)
·         Fraktur spiral (bentuk fragmen melingkar)
d.       Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar :
·         Fraktur terbuka (fragmen tulang menembus kulit), terbagi 3 :
I.           Pecahan tulang menembus kulit, kerusakan jaringan sedikit, kontaminasi ringan, luka <1 cm.
II.        Kerusakan jaringan sedang, resiko infeksi lebih besar, luka >1 cm.
III.     Luka besar sampai ± 8 cm, kehancuran otot, kerusakan neurovaskuler, kontaminasi besar.
·         Fraktur tertutup (fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar)

Gambaran Klinis:

Tanda-tanda klasik fraktur:
  1. Nyeri
  2. Deformitas
  3. Krepitasi
  4. Bengkak
  5. Peningkatan temperatur lokal
  6. Pergerakan abnormal
  7. Echymosis
  8. Kehilangan fungsi
  9. Kemungkinan lain.

 

Patofisiologi:


Fraktur
Periosteum, pembuluh darah di kortek
dan jaringan sekitarnya rusak
·         Perdarahan
·         Kerusakan jaringan di ujung tulang
Terbentuk hematom di canal medula
Jaringan mengalami nekrosis
Nekrosis merangsang terjadinya peradangan, ditandai :
1.      Vasodilatasi
2.      Pengeluaran plasma
3.      Infiltrasi sel darah putih


Tahap Penyembuhan Tulang:

1.      Hematom :
§  Dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan haematom
§  Setelah 24 jam suplay darah ke ujung fraktur meningkat
§  Haematom ini mengelilingi fraktur dan tidak diabsorbsi selama penyembuhan tapi berubah dan berkembang menjadi granulasi.
2.      Proliferasi sel :
§  Sel-sel dari lapisan dalam periosteum berproliferasi pada sekitar fraktur
§  Sel ini menjadi prekusor dari osteoblast, osteogenesis berlangsung terus, lapisan fibrosa periosteum melebihi tulang.
§  Beberapa hari di periosteum meningkat dengan fase granulasi membentuk collar di ujung fraktur.
3.      Pembentukan callus :
§  Dalam 6-10 hari setelah fraktur, jaringan granulasi berubah dan terbentuk callus.
§  Terbentuk kartilago dan matrik tulang berasal dari pembentukan callus.
§  Callus menganyam massa tulang dan kartilago sehingga diameter tulang melebihi normal.
§  Hal ini melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan, sementara itu terus meluas melebihi garis fraktur.
4.      Ossification
§  Callus yang menetap menjadi tulang kaku karena adanya penumpukan garam kalsium dan bersatu di ujung tulang.
§  Proses ossifikasi dimulai dari callus bagian luar, kemudian bagian dalam dan berakhir pada bagian tengah
§  Proses ini terjadi selama 3-10 minggu.
5.      Consolidasi dan Remodelling
§  Terbentuk tulang yang berasal dari callus dibentuk dari aktivitas osteoblast dan osteoklast.

 

Komplikasi Fraktur:


1.      Umum :
§  Shock
§  Kerusakan organ
§  Kerusakan saraf
§  Emboli lemak

2.      D i n i  :
§  Cedera arteri
§  Cedera kulit dan jaringan
§  Cedera partement syndrom.
3.      Lanjut :
§  Stiffnes (kaku sendi)
§  Degenerasi sendi
§  Penyembuhan tulang terganggu :
o   Mal union
o   Non union
o   Delayed union
o   Cross union

 

Penatalaksanaan:


1.      Reduksi untuk memperbaiki kesegarisan tulang (menarik).
2.      Immobilisasi untuk mempertahankan posisi reduksi, memfasilitasi union :
§  Eksternal   gips, traksi
§  Internal                  nail dan plate
3.      Rehabilitasi, mengembalikan ke fungsi semula.

3.      Platting:
Salah satu penatalaksanaan fraktur adalah pembedahan pemasangan plat dengan tujuan untuk mencapai reduksi/reposisi dan fiksasi yang optimal.

Keuntungan Platting:
1.      Reduksi/reposisi untuk memperbaiki kesegarisan tulang memuaskan
2.      Fiksasi lebih stabil dan kuat
3.      Memperpendek masa imobilisasi, rehabilitasi dapat tercapai lebih cepat

Kerugian Platting:
1.      Platting merupakan tindakan pembedahan yang memerlukan anestesi sehingga tidak semua orang bersedia menjalaninya
2.      Kemungkinan infeksi jauh lebih besar dengan adanya benda asing (plat). Risiko infeksi (osteomielitis kronis) 3 kali lebih tinggi pada tindakan fiksasi internal dibanding dengan penatalaksanaan konservatif.
3.      Perforasi periosteum dan korteks tulamg dengan plat dan sekrup menggangu aliran darah ke dalam tulang
4.      Alat fiksasi interna kemudian harus diambil melalui tindakan pembedahan kedua kalinya.


II.      KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1.      PENGKAJIAN


a.      Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:

Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan pada struktur lain. Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:
1)      Aktivitas/istirahat:
Gejala:
-          Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri.

2)      Sirkulasi:
Tanda:
-          Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap nyeri/ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bila terjadi perdarahan.
-          Takikardia
-          Penurunan/tak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada area fraktur.
-          Hematoma area fraktur.

3)      Neurosensori:
Gejala:
-          Hilang gerakan/sensasi
-          Kesemutan (parestesia)
Tanda:
-          Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, kelemahan/kehilangan fungsi.
-          Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri.
-          Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain.

4)      Nyeri/Kenyamanan:
Gejala:
-          Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area fraktur, berkurang pada imobilisasi.
-          Spasme/kram otot setelah imobilisasi.

5)      Keamanan:
Tanda:
-          Laserasi kulit, perdarahan
-          Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba)

6)      Penyuluhan/Pembelajaran:
-          Imobilisasi
-          Bantuan aktivitas perawatan diri
-          Prosedur terapi medis dan keperawatan

b.      Pengkajian Diagnostik:

Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada fraktur adalah:
1)          X-ray:
-  menentukan lokasi/luasnya fraktur
2)          Scan tulang:
-  memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3)          Arteriogram
-  dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4)          Hitung Darah Lengkap
-   hemokonsentrasi mungkin meningkat,  menurun pada perdarahan; peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan.
5)          Kretinin
-  trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal
6)          Profil koagulasi
-  perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera hati.

 


2.      Diagnosa dan Intervensi Keperawatan:

 

a.       Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi.

2.    Bila terpasang gips/bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut untuk mempertahankan posisi yang netral.

3.    Evaluasi pembebat terhadap resolusi edema.


4.    Bila terpasang traksi, pertahankan posisi traksi (Buck, Dunlop, Pearson, Russel)


5.    Yakinkan semua klem, katrol dan tali berfungsi baik.

6.    Pertahankan integritas fiksasi eksternal.



7.    Kolaborasi pelaksanaan kontrol foto.


Meningkatkan stabilitas, meminimalkan gangguan akibat perubahan posisi.

Mencegah gerakan yang tak perlu akibat perubahan posisi.



Penilaian kembali pembebat perlu dilakukan seiring dengan berkurangnya edema

Traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang dan mengatasi tegangan otot untuk mempercepat reunifikasi fragmen tulang

Menghindari iterupsi penyambungan fraktur.

Keketatan kurang atau berlebihan dari traksi eksternal (Hoffman) mengubah tegangan traksi dan mengakibatkan kesalahan posisi.

Menilai proses penyembuhan tulang.

b.      Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.  Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi

2.  Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

3.  Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

4.  Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)

5.  Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)

6.  Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.

7.  Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.


8.  Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)


Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.


Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.

Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.

Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.


Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.


Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Menilai erkembangan masalah klien.


 


c.       Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.

2.    Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.


3.    Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.


4.    Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.


5.    Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.


Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.


Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.

Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.

Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.


 

 

d.      Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.

2.    Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.

3.    Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi.



4.    Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit





5.    Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.


Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.

Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.

Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.

Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.

Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.

 

e.       Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

2.    Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.



3.    Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

4.    Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.

5.    Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.


6.    Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.

7.    Berikan diet TKTP.



8.    Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.


9.    Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.


Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.


Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.

Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.


Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.

Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)

Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.

Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.

Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual.

Menilai perkembangan masalah klien.



f.       Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).

2.    Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.


3.    Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal

4.    Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.


Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.



Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.

Menilai perkembangan masalah klien.

 


g.      Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol

2.    Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.

3.    Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.



4.    Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)


Observasi tanda-tanda vital dan  tanda-tanda peradangan lokal pada luka.

Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.

Meminimalkan kontaminasi.


Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien.

 


h.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.



2.    Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.


3.    Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)

4.    Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.



Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.

Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik.

Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut.


Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.





DAFTAR PUSTAKA

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Dudley (1992), Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi 11, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Dunphy & Botsford (1985), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yayasan Essentia Medica, Jakarta.

Herman Santoso, dr., SpBO (2000), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.

Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta